Breaking News
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Mei 2015

Belajar dari Fatimah Az-Zahra

Dalam sejarah Islam tercatat pula nama Fatimah az-Zahra sebagai sosok ibu yang pantas diteladani. Putri Rasulullah SAW ini adalah poros bagi kehidupan rumah tangga dan keluarga yang baik serta ideal. Hal yang paling menonjol dalam kehidupan Fatimah adalah kemampuannya menyeimbangkan kehidupan individu, sosial, dan keluarga. Beliau pun tampil sebagai sosok pekerja keras, rela berkorban, dan pejuang sejati.
Di rumah yang sederhana, Fatimah telah mendidik anak-anaknya yang oleh sejarah diakui sebagai manusia-manusia terbaik. Ia bersama suaminya menempatkan diri sebagai teladan bagi anak-anak mereka. Kepada putra sulungnya, Hasan, Fatimah pernah berkata, "Hasan, anakku, jadilah engkau seperti ayahmu, belalah kebenaran, sembahlah Allah, Tuhan yang Maha Pengasih dan Pemberi Kebaikan. Dan janganlah engkau bergaul dengan orang-orang pendendam."
Sejarah Islam telah menorehkan dengan tinta emas kemuliaan Fatimah ini. Ia adalah sosok wanita yang bijaksana dalam bersikap, sopan dalam bertutur kata, santun dalam beretika, dan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Ia pun selalu peduli dengan kondisi orang-orang di sekitarnya.
Setiap kali bertemu dengan para Muslimah, Fatimah selalu memberikan bimbingan dan ajaran kepada mereka, seperti yang diterima dari ayahandanya, Rasulullah SAW. Fatimah juga dikenal sebagai pejuang sejati dalam membela kebenaran. Dari sosok ibu yang mumpuni  inilah lahir Hasan dan Husein yang kemudian menjadi mujahid dan pembela ajaran Islam.  
Nah, bagaimana dengan para ibu pada zaman modern sekarang ini? Banyak orang bilang, tidak mudah menjadi ibu pada zaman globalisasi ini. Meski demikian, keberhasilan Asma’ dan Fatimah dalam men jalani peran sebagai ibu pada zaman Rasulullah SAW tetap relevan untuk dijadikan teladan bagi para ibu masa kini.
Read more ...

Menyelesaikan masalah ala Bunda Aisyah r.a


Ummul Mukninin ‘Aisyah tumbuh besar di rumah Rasulullah nan suci. Hal ini sungguh merupakan anugerah yang sangat besar, karena setiap orang yang dididik langsung oleh Rasulullah pada dasarnya akan menjadi guru dan sekolah yang fenomenal.
Inilah yang benar-benar terjadi pada diri ibunda kita, ‘Aisyah. Nalar dan pemikirannya dipenuhi dengan konsepsi-konsepsi Islam. Tingkah laku dan sikap ‘Aisyah merupakan bentuk praktis dan implementasi dari konsep-konsep Islam. Maka tidak masuk akal jika ‘Aisyah melakukan suatu perbuatan yang menyalahi pemikiran, konsepsi dan tingkah laku yang sudah mendarah daging pada diri dan akalnya.
Sikap seperti ini bukan hanya ada pada diri ‘Aisyah saja, melainkan adalah corak tingkah laku yang ada pada diri sahabat Rasul secara umum. Di situ ditemukan adanya keharmonisan luar biasa antara pikiran dan tingkah laku, yang jarang sekali bertolak belakang dengan Al Quran.
‘Aisyah yang suci -putri dari sahabat Nabi yang jujur- ditimpa musibah paling besar yang mungkin menimpa perempuan bermartabat sepertinya. Ia dituduh berbuat zina. Alangkah berat ujian yang ia terima. Tuduhan itu tidak hanya beredar di kalangan terbatas keluarga dan sahabat dekat, tetapi beredar ke masyarakat dan dibumbui dengan sejumlah propaganda yang licik.
Istri seorang Rasul yang sangat disegani sekaligus dicinta oleh ummat dituduh telah melakukan zina. Zina yang dipandang sebagai aib dan dosa besar bagi setiap perempuan, terlebih jika dilakukan oleh istri Nabi, maka hal tersebut sungguh menjadi suatu masalah dan ujian yang berat bagi ‘Aisyah. Hanya orang dengan kepribadian matang, tangguh dan cerdas seperti ‘Aisyah yang dapat menanggung ujian tersebut dan mampu menemukan solusi sehingga dapat melewati cobaan dengan baik.
Apa yang dilakukan ‘Aisyah menghadapi persoalan rumit ini? Bagaimana dia menghadapi, melawan, dan mengalahkannya?
Tentu wanita muslimah di jaman sekarang pun dapat mengambil hikmah, meneladani sikap dan tindakan ‘Aisyah ketika menghadapi masalah dan ujian yang dihadapinya.
Masalah dan Cara Menghadapinya
Sebelum membahas lebih lanjut tentang sikap dan cara-cara ‘Aisyah dalam menyelesaikan masalah, ada baiknya mengulas sedikit mengenai definisi masalah.
Manusia hidup tentu akan bertemu dengan masalah. Hal tersebut seperti bagian dari skenario yang ditentukan ‎​اَللّهُ baik untuk pembelajaran maupun untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Masalah dapat didefinisikan sebagai perasaan atau kesadaran tentang adanya suatu kesulitan yang harus dilewati untuk mencapai tujuan. Masalah juga dapat diartikan sebagai kondisi disaat kita berbenturan dengan realitas yang tidak diinginkan.
Tanpa sadar kadang masalah yang datang dapat menyita pikiran kita. Disinilah diperlukan sikap dan pengetahuan agar dapat menghadapi masalah dan menemukan solusi yang tepat dan tentunya tidak semakin menjerumuskan kepada masalah lain. Dan yang lebih utama, bagaimana bersikap dan bertindak menghadapi masalah sesuai dengan petunjuk yang diberikan Allah.
Terkadang untuk menyelesaikan masalah butuh waktu, namun terkadang masalah dapat selesai dengan cepat. Bagaimanakah ibunda ‘Aisyah menghadapi persoalannya kala itu?
Persoalan yang dihadapi ‘Aisyah adalah berita bohong. Para kaum munafik menyebarluaskan isu tentang kasus perzinaan ‘Aisyah dengan Shafwan bin Mu’aththal. Ketika pulang dari sebuah peperangan, ‘Aisyah terlambat dari rombongan. Ia pulang diantar Shafwan dan menaiki untanya. Setelah itu isu tentang perzinaan ini pun menyebar luas, laksana api yang dengan cepat membakar rerumputan kering.
Persoalan ‘Aisyah kala itu ada dua hal, pertama, ‘Aisyah mendapati dirinya sendirian karena sudah ditinggal rombongan pasukan. Kedua, ketika isu ini beredar di luar, ia tidak mengetahui bahkan tidak terlintas di dalam pikirannya sama sekali. Lantas apakah yang dilakukan ‘Aisyah untuk menghadapi dua persoalan tersebut?
Sadar Bahwa Tengah Menghadapi Masalah
Harus diketahui bahwa sebuah persoalan tidak akan berarti jika orang yang tertimpa atau memiliki hubungan dengan persoalan tersebut tidak menyadarinya. Begitu pun dengan ‘Aisyah, ia sadar betul akan adanya masalah yang sedang dihadapi. Ketika kembali dari mencari kalung yang hilang dan mendapati rombongan pasukan sudah pergi meninggalkannya, ‘Aisyah sadar kalau ia sedang dalam masalah. Ini persoalan pertama.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, dimana ia dituduh melakukan zina, ‘Aisyah segera merasa kalau sedang ada masalah ketika diberitahu Ummu Misthah tentang isu yang sedang beredar di masyarakat. Pada awalnya ‘Aisyah tidak merasakan hal itu. Maka ia heran atas celaan Ummu Misthah terhadap anaknya, dan ia pun membelanya karena Misthah termasuk salah satu sahabat yang ikut dalam perang badar.
Menjaga Emosi dan Tetap Tegar
Ibunda kita ‘Aisyah mampu menahan emosinya di saat menghadapi persoalan yang menimpanya. Padahal situasi yang ia alami kala itu sangat mencekam. Tertinggal sendirian oleh rombongan pasukan di medan perang. Dan ia pun tetap dapat mengontrol dirinya ketika mendengar isu yang sesungguhnya dapat membuatnya tertekan. Tentu saja ‘Aisyah kaget dan limbung atas isu-isu yang tersebar luas menyangkut dirinya. Namun meskipun begitu, ‘Aisyah tetap sabar karena mengingat firman Allah,
“Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (buatku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. (Yusuf [12]:18)
Ketegaran hati yang dimiliki ‘Aisyah tercermin dengan selalu memohon perlindungan Allah melalui doa, shalat, zikir, berbaik sangka kepada Allah dan umat muslim yang terkait dengan isu tentang dirinya, serta mengharap datangnya kebaikan. Sisi keimanan secara umum juga sangat berpengaruh dalam hal ini, sehingga keimanan harus tetap dijaga pada setiap fase penyelesaian masalah.
Semua inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah. Meskipun isu-isu itu mampu membuat ‘Aisyah terpukul, tapi ia tetap tidak kehilangan akal sehat.
Terhadap persoalan pertama, ‘Aisyah menyimpulkan kalau rombongan pasukan memang sudah meninggalkannya, dan ia tertinggal sendirian. Hal ini membuat ‘Aisyah mengkhawatirkan diri sendiri kalau sampai meninggal dunia, mendapat musibah, atau mengalami tindak kekerasan. Sedangkan terhadap persoalan kedua, ‘Aisyah sudah menyimpulkan dan mengetahuinya. Isu yang beredar saat itu adalah ia dituduh berbuat zina. ‘Aisyah sudah memikirkan tuduhan tersebut dan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.
Memikirkan Solusi
‘Aisyah memikirkan solusi yang mungkin berguna untuk menyelesaikan persoalannya. Yang terbersit dalam benak ‘Aisyah waktu itu adalah sejumlah hal berikut:
1.Menyusul rombongan pasukan. Tapi ia tidak memiliki kendaraan, sedang malam sudah gelap dan ia pun rasanya tidak mungkin berjalan sendirian
2.Tetap berada di tempat semula sambil bersembunyi
3.Pergi ke tempat lain
4.Menunggu di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian mereka akan kembali lagi ke tempat itu. Sebab apabila rombongan tahu kalau ia tidak ada, tentu mereka akan segera kembali ke tempat semula untuk mencari.
5.Mencari seseorang yang mungkin tertinggal dari rombongan seperti yang ia alami, atau menunggu seseorang yang mengikuti rombongan pasukan dari jauh.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, yang terbersit pada benak ‘Aisyah adalah;
1.Membela diri
2.Menyerahkan hal itu kepada Rasul, sementara ia tetap berada di rumahnya. Namun sepertinya ‘Aisyah melihat kalau Rasulullah terpengaruh dengan isu tersebut, di samping isunya sudah menyebar luas di masyarakat
3.Pulang ke rumah bapak ibunya, bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah
4.Menerapkan solusi paling tepat di antara solusi-solusi yang ada
Solusi
‘Aisyah memilih untuk tetap berada di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian dari mereka kembali lagi untuk menjemput. Benar saja, Shafwan datang. Waktu itu, ‘Aisyah menyangka kalau Shafwan memang diutus rombongan untuk menjemputnya. Oleh karena itu, ‘Aisyah langsung menaiki unta Shafwan tanpa berbicara sedikit pun. Dan karena anggapan seperti ini juga, ‘Aisyah tidak pernah terbetik dalam pikirannya bakal ada isu-isu miring tentang dirinya. Sebab ia menyangka bahwa Shafwan memang diutus rombongan untuk mencari dan membawanya menyusul rombongan.
Sedangkan mengenai masalah tuduhan zina, ‘Aisyah meminta izin kepada Rasulullah untuk pulang ke rumah keluarganya. Sebab persoalan ini butuh kejelasan lebih lanjut selagi belum turun wahyu yang menjelaskannya. Selain itu, menghadapi persoalan semacam ini juga butuh kepala dingin agar bisa berpikir tenang. Kepulangan ‘Aisyah ke rumah orangtuanya mengandung banyak himah dan kecerdikan. Oleh karena itu, Rasul pun segera memenuhi keinginan ‘Aisyah tersebut.
Read more ...

Selasa, 12 Mei 2015

Kisah Bunda Khadijah

Wanita sholehah itu bernama Khadijah, nama lengkapnya Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai, ia berasal dari golongan pembesar di Mekkah. Khadijah al-Kubra memiliki ayah bernama Khuwailid bin Asad dan ibunya bernama Fatimah binti Za’idah, ia berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy.
Pada suatu hari, saat masih pagi buta, dengan penuh kegembiraan Khadijah pergi ke rumah sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Khadijah berkata, “Tadi malam aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihat matahari berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah bumi. Ia semakin mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat kemana ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung itu membuatku tertegun. Lalu aku terbangun dari tidurku”.
Kemudian Waraqah mengatakan, “Aku sampaikan berita gembira kepadamu, bahwa seorang lelaki agung dan mulia akan datang meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin meningkat”. Tidak lama kemudian Khadijah ditakdirkan menjadi isteri Nabi Muhammad.
Ketika Nabi Muhammad masih muda dan dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur sehingga Muhammad mendapat julukan Al-Amin, telah diperkenankan untuk ikut menjualkan barang dagangan milik Khadijah. Hal yang lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan jiwa Nabi Muhammad.
Yang menarik dari pernikahan antara Nabi Muhammad dan Khadijah adalah Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk meminang Beliau, Padahal pada saat itu bangsa Arab jahiliyah memiliki adat, pantang bagi seorang wanita untuk meminang pria dan semua itu terjadi dengan adanya usaha orang ketiga, yaitu Nafisah Binti Munyah dan peminangan dibuat melalui paman Muhammad yaitu Abu Thalib. Keluarga terdekat Khadijah tidak menyetujui rencana pernikahan ini. Namun Khadijah sudah tertarik oleh kejujuran, kebersihan dan sifat-sifat istimewa Beliau ini, sehingga ia tidak memperduliakan segala kritikan dan kecaman dari keluarga dan kerabatnya.
Kisah Khadijah istri Rasulullah – Khadijah juga merupakan wanita yang cerdas, mengenai ketertarikannya kepada Nabi Muhammad ia mengatakan, “Jika segala kenikmatan hidup diserahkan kepadaku, dunia dan kekuasaan para raja Persia dan Romawi diberikan kepadaku, tetapi aku tidak hidup bersamamu, maka semua itu bagiku tak lebih berharga daripada sebelah sayap seekor nyamuk”
Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad, ketika berumur 40 tahun, sedangkan Nabi Muhammad saat ini masih berumur 25 tahun. Ada yang mengatakan usianya saat itu tidak sampai 40 tahun, hanya sedikit lebih tua dari Nabi Muhammad. Khadijah merupakan wanita kaya dan juga terkenal. Khadijah dapat hidup mewah dengan hartanya sendiri. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami, karena suami pertama dan keduanya telah meninggal. Namun ada beberapa sumber menyangkal bahwa Khadijah pernah menikah sebelum bertemu Nabi Muhammad.
Kisah Khadijah istri Rasulullah, Sewaktu malaikat turun membawa wahyu kepada Muhammad maka Khadijah adalah orang pertama yang mengakui kenabian suaminya, dan wanita pertama yang memeluk Islam, sehingga ia termasuk as-Sabiqun al-Awwalun (orang pertama yang memeluk islam). Sepanjang hidupnya bersama Nabi, Khadijah begitu setia menemaninya dalam setiap peristiwa baik suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira’, Khadijah pasti menyiapkan semua perbekalan dan keperluan suaminya. Seandainya suaminya agak lama tidak pulang ke rumah, Khadijah akan melihat untuk memastikan keselamatan Nabi Muhammad. Sekiranya Nabi Muhammad khusyuk bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga Beliau pulang. Apabila suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, beliau coba sekuat mungkin untuk mententram dan menghiburkan, sehingga suaminya benar-benar merasai tenang. Setiap ancaman dan penganiayaan mereka dihadapi bersama. Kemudian Allah mengkaruniakannya 3 orang anak, mereka adalah Qasim, Abdullah, dan Fatimah.
Khadijah merupakan wanita yang sholehah, ia sangat berbakti kepada sang suami. Misalnya dalam banyak kegiatan pribadatan suaminya, Khadijah bisa dipastikan selalu bersama nabi Muhammad dan membantunya, sepertinya menyediakan air untuk berwudu suaminya. Sehingga sangat wajar jika dalam salah satu sabda Nabi muhammad, disebutkan keistimewaan Khadijah, “Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihkanku, ia menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepadaku.”
Khadijah meninggal pada usia 64 tahun 6 bulan. ia menjadi istri nabi muhammad selama 24 tahun, hidup bersama nabi Muhammad, menemaninya dalam suka dan duka.
Itulah sepenggal Kisah Khadijah Istri Rasulullah, ia merupakan wanita sholehah yang patut menjadi taulana para wanita muslimah. Semoga para wanita dapat meneladani sifat-sifat Khadijah Aamiin.
Read more ...
Designed By